Oleh: HJ Sriyanto
Menarik, apa yang terjadi di kelas matematika saya beberapa waktu yang lalu. Ketika mengawali materi pelajaran, saya meminta siswa untuk membuat tiga buah kalimat yang terkait dengan materi tersebut. Para siswa yang semuanya laki-laki dan dikenal memiliki kreatifitas yang cukup tinggi itu sempat terbengong. Untuk beberapa saat mereka seolah tidak percaya dengan apa yang akan dilakukan. Baru setelah saya meyakinkan beberapa kali mereka mulai bersemangat mengerjakannya, sambil masih menyisakan senyum di bibirnya. Mungkin mereka belum cukup yakin.
Membuat kalimat adalah salah satu cara untuk memfasilitasi proses berpikir. Ketika seseorang membuat kalimat dengan menggunakan istilah tertentu, maka disana ada proses untuk berpikir. Orang akan berpikir terlebih dulu, berusaha memahami arti atau makna istilah tersebut, baru kemudian bisa menyatakannya dalam satu rangkaian kalimat. Dari proses tersebut akan dapat diketahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap istilah itu. Inilah titik awal siswa memahami konsep yang akan dibahas dalam proses pembelajaran selanjutnya.
Setelah semua siswa selesai membuat kalimat mereka memilih satu kalimat yang dianggap menarik dan membacakannya untuk forum kelas. Seperti sudah saya duga, ada banyak ragam kalimat menarik. Dan masing-masing siswa berusaha membuat kalimat yang berbeda dari temannya. Kelaspun menjadi lebih hidup, sengaja saya membiarkan komentar dari siswa lain ketika satu siswa selesai membacakan kalimatnya. Kesempatan itu sekaligus menjadi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri; ide, gagasan dan kreatifitasnya. Dari kalimat-kalimat itu tampak bagaimana karakter masing-masing pribadi siswa, interestnya dan juga latar belakangnya. Selain itu, tanpa disadari mereka telah mengumpulkan banyak informasi tentang materi yang akan dibahas. Peristiwa itu juga menjadikan materi pelajaran lebih dekat dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari. Bahwa apa yang dipelajari sebenarnya terkait dengan kehidupan nyata, bahkan mungkin pernah dialaminya sendiri.
Proses pendidikan seharusnya menjadi media bagi siswa untuk mengembangkan ide, gagasan dan kreativitasnya. Selayaknya pendidikan memberi ruang seluas-luasnya bagi pengembangan daya imajinasi dan daya kreativitas peserta didik. Mengembalikan ruang kreativitas siswa untuk berpikir, menggali potensi dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru. Namun acapkali yang terjadi adalah sebaliknya, proses pendidikan di sekolah seringkali malah memenjarakan ide, gagasan, imajinasi dan kreativitas peserta didik. Tanpa disadari sistem persekolahan kerapkali mengerdilkan dan memiskinkan daya kreatif dan daya imajinasi peserta didik. Anak-anak yang dahulunya penuh ide kreatif ketika memasuki bangku persekolahan kehilangan imajinasi dan kreatifitasnya, berubah menjadi anak-anak yang “penurut” dan “penakut”. Takut untuk menyatakan pendapat, ide atau gagasannya dan tidak kreatif, melakukan sesuatu hanya apabila ada perintah atau petunjuk dari guru. Sistem persekolahan dengan kurikulumnya yang begitu padat, lebih berorientasi pada hasil daripada mengedepankan proses, metode pembelajaran yang monoton dan tidak inspiratif telah menjauhkan peserta didik dari kemandirian berpikir dan sikap kritis. Mendorong anak-anak tumbuh dalam sikap kepatuhan tanpa kesanggupan menyatakan diri secara penuh dan utuh.
Proses pendidikan bukanlah proses mengisi botol kosong, dimana siswa dianggap sebagai botol kosong yang harus diisi tanpa memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mencari, mengolah dan menemukan makna dari proses pendidikan yang dijalaninya. Sementara guru sebagai yang serba tahu, empunya ilmu pengetahuan dan merasa “bertanggungjawab” untuk mengisi siswa dengan berbagai kecakapan. Peserta didik bukanlah bejana kosong, tapi merupakan pribadi yang hidup yang memiliki rasa, karsa dan daya cipta. Tugas guru adalah mendampingi dan mendorong mereka mencapai kepenuhan diri, membantu mengembangkan seluruh sisi kemanusiaannya tumbuh secara seimbang dan optimal.
Proses pendidikan di sekolah yang termanifestasikan dalam proses pembelajaran dikelas seringkali banyak didominasi oleh guru. Selama ini proses pembelajaran di kelas cenderung berpusat pada guru dan bersifat monologis. Proses pembelajaran demikian akan membentangkan tembok yang membatasi interaksi antara guru dan peserta didik. Ada jarak terbentang yang memisahkan guru dan siswa. Pola interaksi demikian memposisikan guru sebagai “penguasa” yang memiliki hegemoni dan dominasi sepihak dalam menafsir makna materi pembelajaran yang kebenarannya tanpa terbantahkan oleh siswa yang manapun. Pada titik inilah terjadi relasi yang timpang antara guru dan siswa.
Perlu kiranya untuk mengedepankan proses pembelajaran yang dialogis dan berpusat pada siswa. Mendorong proses pembelajaran yang memberikan ruang lebih banyak bagi partisipasi dan keterlibatan aktif peserta didik. Pembelajaran yang parsipatoris dan dialogis mengandaikan terjadinya interaksi aktif antara guru dan siswa dalam sebuah relasi yang egaliter. Bahwa proses pembelajaran menjadi peristiwa belajar yang dialami bersama-sama oleh guru dan siswa. Dan sejauh ini pengalaman menunjukkan bahwa kedekatan relasi guru-siswa sangat mendukung keberlangsungan proses pembelajaran yang efektif.
Dalam proses pembelajaran yang partisipatoris dan dialogis, proses pembelajaran bukan sekedar proses memorasi dan recall ataupun penguasaan pengetahuan semata. Bahwa proses pembelajaran tidak hanya sebatas mengolah ranah kognitif, competence belaka. Namun Consience dan compassion juga mendapatkan perhatian. Disana tersirat adanya proses internalisasi, proses untuk menerima, menghayati nilai dari sesuatu yang berada diluar dirinya menjadi bagian dari dirinya. Sesuatu yang sebelumnya merupakan pengetahuan dari luar yang disampaikan sebagai pengetahuan kognitif dalam internalisasi diproses untuk menjadi bagian yang menyatu dalam dirinya, sebagai acuan yang bernilai dan bermakna bagi kehidupannya. Dengan demikian proses pendidikan akan sungguh mampu mengembangkan seluruh sisi kemanusiaan peserta didik secara penuh dan utuh.@
0 comments:
Post a Comment