Sumber: Kompas, Sabtu 17 Desember 2005
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika kerap kali menjadi momok menakutkan bagi para siswa. Namun, Kamarudin mampu menjadikan siswa senang, malah dengan santai, mempelajarinya, khususnya murid kelas rendah: kelas I, II, dan III sekolah dasar.
Caranya, Kepala Sekolah Dasar Nomor 1 Kenawa, Desa Kenawa, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini membuat alat peraga yang disebutnya Blok/Petak Bilangan. Saya mencoba membuat alat peraga ini dengan mengombinasikan antara belajar dan bermain, tutur Kamarudin (45), ayah dari enam anak hasil pernikahannya dengan Hayatun itu.
Alat peraga itu amat sederhana. Papan tripleks dilubangi sedemikian rupa berbentuk persegi. Kemudian ada sejumlah potongan papan seukuran panjang dan lebar bidang papan yang dilubangi tadi yang bergambar pohon, buah, ikan, kelereng, bola, wayang, dan lainnya di satu sisinya dan angka-angka di sisi lainnya.
Papan ukuran kecil itu ada yang diberi engsel atau isolasi biar bisa dilipat sehingga gambar pohon, buah dan angka, dan lainnya sebagai unsur untuk menambah-mengurangi bisa langsung ditunjukkan kepada siswa.
Bolongan-bolongan tersebut dimaksudkan agar potongan papan bergambar itu bisa dikeluar-masukkan pada lubang bidang papan tersebut. Di bagian paling atas bidang papan terdapat lubang yang ukuran sama untuk wadah hasil akhir (jumlah) dari menambah dan mengurangi bilangan. Sedangkan gambar-gambar dan angka-angka masing-masing pada bagian kiri dan kanan bidang papan.
Dengan alat peraga ini, siswa kelas I, II, dan III SD, bahkan murid taman kanan-kanak, akan lebih mudah mengenal huruf, angka, dan bercerita. Siswa pun bisa belajar menulis karena di atas papan bergambar itu dilengkapi kertas maupun plastik transparan, tinggal mengikuti bentuk-bentuk huruf dan angka.
Cara ini mengganti metode menulis di udara, atau siswa diajak membayangkan angka dan huruf dalam udara, yang sebelumnya diajarkan kepada siswa. Alat peraga ini juga tidak menimbulkan ketakutan siswa untuk belajar Matematika karena mereka serasa diajak bermain.
Ketakutan terhadap mata pelajaran Matematika lebih disebabkan kurangnya peran guru dalam memahami kemudian mengembangkan konsep dasar pelajaran berhitung. Misalnya, 2 x (kali) 2 = 4, oleh guru dinyatakan dalam bentuk hafalan. Mestinya, hasil itu dijabarkan prosesnya sehingga siswa mengerti perolehan angka empat dari perkalian tadi.
Ikut lomba
Ide membuat alat peraga itu didasari pengalaman mengajar di berbagai SD. Dia melihat kondisi memprihatinkan para siswa kelas V-VI yang tidak paham menambah dan mengurangi, apalagi membagi dan mengalikan angka-angka. Kamarudin berpikir keras untuk mengatasi persoalan itu. Kebetulan saat itu, tahun 1980-an, dia diutus mengikuti penataran alat peraga di Balai Pelatihan Guru Mataram. Dari sekitar 90 peserta (guru), dengan karya Blok/Petak Bilangan, ia dinyatakan lulusan terbaik.
Pada tahun yang sama, Kamarudin ikut lomba alat peraga tingkat nasional di Cipayung, Bogor. Saya pilih ikut lomba peraga Matematika mengingat banyak guru IPA di NTB mahir membuat alat peraga, tuturnya. Dalam tempo dua minggu sebelum lomba dimulai, Kamarudin mengumpulkan bahan-bahan dan deskripsi alat peraga. Sebelumnya, nyalinya sempat kecut mengingat alat peraga yang dirancang peserta sejumlah provinsi sangat baik.
Namun, Kamarudin dengan percaya diri mempresentasikan alat peraga di hadapan tim penguji Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Rupanya karya cipta Kamarudin menarik perhatian tim penguji sebab waktu untuk presentasi dibatasi 30 menit, dan saat dia diuji waktu diulurkan menjadi 45 menit, bahkan tim penguji memuji karyanya.
Rupanya pujian dan bonus waktu tadi sebuah pertanda awal sebuah keberhasilan. Alat peraga bikinannya, yang dirasakan nyaris tidak menimbulkan kekaguman kalangan peserta, justru menduduki urutan terbaik. Setelah itu, alat peraganya diuji di sebuah SD di Cipayung, dengan hasil tidak beda jauh saat proses uji pada siswa kelas rendah di Kecamatan Kopang, yaitu dengan tingkat keberhasilan 75-95 persen masing-masing untuk siswa SD pedesaan dan perkotaan.
Sayang alat peraga itu, yang kalau dibuat lengkap memerlukan biaya Rp 500.000 satu set, belum bisa diproduksi massal karena gaji guru golongan IIID ini hanya cukup untuk menyambung hidup. Pernah memang dua perusahaan di Jakarta bersedia memproduksinya, bahkan diperkuat penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding) segala. Namun, kontrak kerja itu tak pernah terwujudkan sampai kini.
Dengan alat peraga itu, hanya satu keinginan Kamarudin, Yang penting siswa kelas I, II, dan III lebih mudah belajar membaca, menulis, dan berhitung. Itu saja.
0 comments:
Post a Comment