Oleh : HJ. Sriyanto
Matematika memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Banyak yang telah disumbangkan matematika bagi perkembangan perababan manusia. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu pesat dewasa ini tidak lepas dari peranan matematika. Boleh dikatakan, matematika adalah landasan utama sains dan teknologi. Dengan demikian menguasai matematika merupakan salah satu jalan utama menuju tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini.
Namun demikian, kita tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa sampai sekarang masih banyak orang (siswa) di negeri ini yang mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Bahkan tidak jarang matematika dianggap sebagai ‘momok’ yang menakutkan, yang sebisa mungkin dihindari. Kondisi demikian jelas akan menghambat penguasaan terhadap matematika. Inilah salah satu tantangan pendidikan matematika di sekolah-sekolah di Indonesia.
Matematika Sekolah
Matematika sekolah, yaitu matematika yang diajarkan sebagai salah satu bidang studi di sekolah, baik di pendidikan dasar dan menengah, terdiri atas bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk kepribadian siswa, serta berpandu kepada perkembangan IPTEK. Oleh karena itu, matematika sekolah juga tidak dapat dipisahkan dari ciri-ciri penting yang dimiliki matematika, yaitu (1) memiliki obyek yang abstrak dan (2) memiliki pola pikir deduktif dan konsisten. (Depdikbud, 1995).
Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika merupakan cabang ilmu yang spesifik. Matematika tidak mempelajari obyek-obyek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak. Obyek matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis.
Matematika dikembangkan melalui deduksi dari seperangkat anggapan-anggapan yang tidak dipersoalkan lagi nilai kebenarannya dan dianggap saja benar. Dalam matematika, anggapan-anggapan yang dianggap benar itu dikenal dengan aksioma. Sekumpulan aksioma ini dapat digunakan untuk menyimpulkan kebenaran suatu pernyataan lain, dan pernyataan ini disebut teorema. Dari aksioma dan teorema atau dari teorema dan teorema kemudian dapat diturunkan teorema lain. Akhirnya matematika merupakan kumpulan butir-butir pengetahuan benar yang hanya terdiri atas dua jenis kebenaran, yaitu aksioma dan teorema. Selebihnya, kalaulah ada pengetahuan yang tampaknya benar, namun belum dapat dibuktikan, maka butir pengetahuan itu belum dianggap kebenaran dan hanya berupa suatu "takhayul" yang masih perlu dibuktikan. (Nasoetion, 2001). Demikianlah konsistensi matematika, bahwa kebenaran dari suatu pernyataan tertentu didasarkan kepada kebenaran-kebenaran pernyataan terdahulu yang telah diterima sebelumnya, sehingga satu sama lain tidak mengalami pertentangan.
Secara umum, tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran yang logis, rasional, dan kritis, serta mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Penekanan tujuan umum pendidikan matematika di sekolah adalah penataan nalar, dasar dan pembentukan sikap siswa, serta ketrampilan dalam penerapan matematika. (Depdikbud, 1995).
Namun sejauh mana tujuan pendidikan matematika di sekolah sudah dapat direalisasikan, inilah kiranya yang masih menjadi keprihatinan kita bersama. Dalam kenyataannya, praksis pendidikan matematika di sekolah menghadapi banyak persoalan. Ada banyak kendala dan kesulitan yang siap menghadang pencapaian tujuan pendidikan matematika di sekolah. Berbagai persoalan tersebut hampir merambah keseluruhan komponen dalam pendidikan matematika, mulai dari siswa, guru, kurikulum, hingga sarana prasarana pendidikan matematika di sekolah.
Matematika Sekolah, ‘ Momok’ Bagi Siswa
Setiap kali pelajaran matematika, Toni seorang siswa kelas satu sekolah menengah atas (SMA), selalu duduk di bangku belakang. Atau jika tidak, ia akan duduk menyelinap di antara teman-temannya. Toni selalu berusaha menghindar dari perhatian guru, agar ia tidak ditunjuk untuk mengerjakan soal atau menjawab pertanyaan sang guru. Pendek kata, ia selalu berusaha untuk bersembunyi dari guru, setiap kali pelajaran matematika. Suatu ketika dia sudah tidak bisa menghindar lagi, karena guru mengurutkan siswa satu per satu untuk mengerjakan soal di papan tulis. Perasaan deg-degan, cemas dan takut tiba-tiba menyergapnya. Keringat dinginpun keluar dari sekujur tubuh, sampai-sampai baju seragamnya basah kuyup. Tubuhnya menjadi gemetar, perutnya terasa mual. Demikianlah, Toni selalu merasa tertekan dan stres, setiap kali diminta mengerjakan soal matematika atau menjawab pertanyaan guru.
Pelajaran matematika di sekolah seringkali menjadi “momok”, tidak saja bagi Toni, tapi juga bagi sebagian besar siswa yang lain. Selama ini matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian besar siswa. Anggapan demikian tidak lepas dari persepsi yang berkembang dalam masyarakat tentang matematika. Anggapan banyak orang bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit tanpa disadari telah mengkooptasi pikiran siswa. Sehingga siswa juga akan beranggapan demikian, ketika berhadapan dengan matematika. Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu yang kering, abstrak, teoretis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus-rumus yang sulit dan membingungkan, yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah, telah ikut membentuk persepsi negatif siswa terhadap matematika. Akibatnya pelajaran matematika tidak dipandang secara obyektif lagi. Matematika sebagai salah satu ilmu pengetahuan pun kehilangan sifat netralnya.
Repotnya lagi, kondisi tersebut seringkali masih diperparah dengan sikap guru yang mengajarkan matematika. Pelajaran matematika sendiri sudah dianggap sulit, masih ditambah lagi guru yang mengajarkan matematika seringkali berperilaku killer, galak, cepat marah, suka mencela, sering menghukum siswa, kalau mengajar ‘garing’, terlalu cepat dan monoton. Hal itu menyebabkan matematika tidak hanya dianggap sulit, tapi juga menakutkan bagi siswa. Sehingga akan semakin membentangkan jarak antara siswa dengan matematika. Siswa menjadi semakin tidak tertarik untuk mempelajari matematika secara lebih mendalam.
Kurikulum Matematika Sekolah Yang Padat dan Sarat beban
Seorang ibu mengeluh, anaknya yang duduk di bangku kelas tiga IPA sebuah SMA sering malas belajar matematika, bahkan beberapa kali tidak mau masuk sekolah, ketika ada jadwal pelajaran matematika. Padahal menurut ibu tersebut, sewaktu kelas satu dan kelas dua (yang ditempuhnya di luar negeri), sang anak termasuk ‘jagoan’ matematika. Usut punya usut, ternyata selama ini sang anak banyak ketinggalan dalam pelajaran matematika dibanding teman-temannya. Nilai-nilai ulangannya ‘jeblok’, selalu saja ‘do re mi’. Ibu itu khawatir anaknya tidak lulus, mengingat syarat kelulusan tahun ini nilai matematika minimal harus 4,01. Meskipun ibu tersebut sudah mengundang guru les untuk mengajari anaknya dalam mempersiapkan UAN, tapi kekhawatiran bahwa sang anak tidak lulus tak bisa disembunyikannya.
Namun yang paling membuat ibu itu tidak habis mengerti adalah mengapa anaknya yang cukup baik nilai matematikanya sewaktu masih belajar di luar negeri, sekarang, ketika melanjutkan kelas tiga di SMA Indonesia, menjadi jauh tertinggal. Demikian pesatkah perkembangan pendidikan matematika di Indonesia, sehingga hanya dalam kurun dua tahun saja anak tidak bisa mengikuti perkembangannya, meskipun dalam waktu bersamaan di negeri seberang sana, si anak juga terus belajar matematika?
Apa yang dikeluhkan oleh ibu diatas, bahwa sang anak jauh tertinggal dalam pelajaran matematika, kiranya wajar, mengingat kurikulum pendidikan di Indonesia, juga berbeda dengan kurikulum pendidikan di negara dimana keluarga itu pernah tinggal. Sudah sering disinggung, bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia sangat padat dan sarat beban, bahkan ada yang menyebutkan kurikulum pendidikan di Indonesia adalah satu-satunya yang paling padat di dunia. Menurut Drost (1998), kurikulum SMA di Indonesia hanya dapat diikuti oleh 30% siswa. Tanpa terkecuali kurikulum matematika. Seolah semua materi ingin ‘dijejalkan’ kepada siswa.
Dari sharing pengalaman beberapa siswa yang pindah studi atau melanjutkan studi di luar negeri, terungkap bahwa mereka tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran matematika. Sebab apa yang dipelajari, beberapa materi di antaranya, sudah pernah dipelajarinya di Indonesia. Misalnya saja, seorang siswa SMA yang pindah studi ke Filipina, menceritakan bahwa materi matematika SMA kelas dua di sana, beberapa di antaranya hanya mengulang materi matematika SMP di Indonesia. Beberapa siswa yang melanjutkan studi di negeri Belanda, juga menyatakan bahwa matematika yang diberikan pada semester awal perguruan tinggi di sana lebih banyak mengulang materi pelajaran SMA di Indonesia. Pada semester awal tersebut, rata-rata mahasiswa yang berasal dari Indonesia memperoleh nilai yang lebih baik dibanding mahasiswa dari negara lain. Namun kondisi itu berbalik, ketika mereka mulai menempuh tahun kedua dan seterusnya. Dengan materi ajar yang sama sekali baru, capaian nilai mereka kalah dibanding mahasiswa dari negara lain.
Sharing tersebut semakin menegaskan bahwa kurikulum pendidikan matematika di sekolah menengah Indonesia memang lebih padat dibanding negara lain. Kurikulum matematika yang padat dan sarat beban, baik secara langsung maupun tidak langsung, menyebabkan praksis pengajaran matematika di sekolah cenderung didominasi proses transfer pengetahuan. Materi yang banyak dan sulit serta tuntutan menyelesaikan seluruh materi ajar telah membuat guru mengajar dengan cepat, namun tidak mendalam. Pembelajaran matematika dilakukan dengan pola instruksi, bukan konstruksi dan rekonstruksi pengetahuan. Bahkan tanpa memberikan tempat bagi siswa untuk menentukan sendiri ke arah mana siswa ingin bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Akibatnya pengajaran matematika di sekolah hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Meskipun sudah mempelajari matematika, siswa tetap saja tidak mampu berasosiasi atau memiliki gambaran yang jelas dari yang dihasilkan oleh olah pikirnya.
Selain itu, kurikulum pendidikan matematika juga kurang sistematis dan tumpang tindih. Ketumpang-tindihan itu dapat dilihat, baik dalam materi satu bidang studi ataupun materi antar bidang studi. Keterkaitan antara satu bidang studi dengan bidang studi lain tampaknya juga kurang diperhitungkan secara matang. Sebagai contoh dalam bidang studi matematika SMA, penyelesaian sistem persamaan linier (SPL) dengan menggunakan determinan matriks, diberikan lebih dulu daripada bahasan tentang matriks itu sendiri. Padahal determinan matriks tercakup dalam pokok bahasan matriks, dan penyelesaian SPL itu muncul lagi dalam bahasan penerapan matriks. Contoh lain, dalam pelajaran fisika kelas satu sudah digunakan perbandingan trigonometri sudut rangkap, sementara materi tersebut baru dipelajari siswa dalam pelajaran matematika kelas dua. Dan tentu masih banyak lagi “kecelakaan” lain, apabila dikritisi lebih jauh. Akhirnya, guru dan muridlah yang menanggungkan akibat dari semua itu. Guru fisika misalnya, harus menjelaskan dulu tentang perbandingan trigonometri sudut rangkap, padahal itu sebenarnya merupakan tugas guru matematika. Dari sisi siswa, jelas ada kesulitan, karena siswa belum mendapatkan materi pelajaran matematika yang menjadi prasyarat dalam pelajaran fisika tersebut. Bisa jadi memang ada banyak siswa yang dapat menyelesaikan soal-soal ujian berkait dengan materi itu, tapi sebenarnya siswa tidak memahami konsepnya secara utuh.
Dari cerita ibu di atas juga tersirat bahwa tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam pelajaran matematika, tanpa disadari telah membuat siswa cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang baik dalam pelajaran matematika. Motivasi siswa belajar matematika, hanya sekedar untuk mendapatkan nilai yang baik. Dan repotnya, nilai telah dianggap sebagai representasi pengetahuan matematika. Ketika siswa mendapatkan nilai matematika yang jelek, siswa akan merasa tertekan, minder, bahkan menganggap dirinya bodoh. Selain itu, tuntutan untuk memperoleh nilai yang baik dalam pelajaran matematika, tanpa disadari telah menyebabkan pembelajaran matematika di sekolah diarahkan melulu sekedar agar siswa lulus ujian dan nilai matematikanya tinggi. Akibatnya, pembelajaran matematika hanya melahirkan siswa yang pandai menghafal konsep-konsep dan rumus-rumus. Siswa hanya berlatih soal-soal yang biasanya digunakan dalam berbagai tes, tanpa mampu menggali pengetahuan sendiri dan menerapkannya dalam memecahkan persoalan yang dialami dalam kehidupan kesehariannya. Memang, dengan pembelajaran yang hanya sekedar untuk menyiapkan siswa untuk ujian, banyak siswa yang lulus dan mendapatkan nilai baik. Tetapi kualitas pengetahuan yang mereka peroleh sangat rendah. (Wirasto, 1987).
Sinisme Terhadap Pelajaran matematika
Fajar, seorang siswa kelas dua SMA, selalu membuat ‘keributan’ ketika pelajaran matematika. Jarang sekali ia memperhatikan atau terlibat dalam pelajaran matematika. Biasanya dalam pelajaran matematika Fajar lebih banyak mengobrol dengan teman sebangkunya, atau seringkali malah mengganggu teman lainnya. Meskipun dia tergolong anak yang pandai, tapi seringkali ia mengacuhkan pelajaran matematika, karena ia beranggapan pelajaran matematika yang dipelajarinya tidak ada gunanya. Ia tidak melihat keterkaitan dan kegunaan dari materi pelajaran dalam kehidupan nyata sehari-hari. Jadi untuk apa belajar matematika? Seringkali ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan tujuan mempelajari materi pelajaran matematika, seperti pertanyaan, ‘Turunan fungsi itu untuk apa sih, Pak?’ Namun pertanyaan-pertanyaannya itu selalu ‘mentok’, tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan dari guru. Bahkan guru seringkali malah marah dan mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaannya. Akhirnya Fajar pun menjadi semakin malas mengikuti pelajaran matematika.
Ada banyak cerita ringan, meski mungkin bukan kejadian historis, yang menunjukkan masalah-masalah praktis apa saja yang telah merangsang investivigasi dalam matematika. Kisah paling sederhana adalah tentang Thales ( 600 SM), yang ketika berada di Mesir, diminta oleh raja untuk mengetahui tingginya sebuah piramid. Thales pun menanti suatu saat di siang hari ketika bayangan tubuhnya sama panjang dengan tinggi tubuhnya sendiri; kemudian dia mengukur panjang bayangan piramid, yang tentu saja sama dengan tinggi piramid.
Cerita lain, adalah mengenai duplikasi kubus. Konon para pendeta sebuah kuil, menerima pesan lewat sebuah orakel bahwa dewa menghendaki arca yang ukurannya dua kali lipat dari arca yang telah mereka miliki. Mula-mula mereka menempuh cara sederhana dengan melipatduakan semua dimensi arca. Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa hasilnya akan delapan kali lebih besar dari ukuran aslinya, yang tentu akan memakan biaya lebih banyak. Mereka lantas mengirim duta kepada Plato ( 380 SM) untuk menanyakan adakah orang di akademi Plato yang mampu menyelesaikan problem mereka. Para ahli geometri pun bertindak, dan mempelajari persoalan itu hingga berabad-abad, yang secara kebetulan, lantas menghasilkan pelbagai karya besar. (Russel, hal.284).
Dari dua kisah di atas tampak bahwa sebenarnya matematika lahir untuk menjawab persoalan hidup nyata sehari-hari. Tapi mengapa pertanyaan Fajar “untuk apa belajar matematika” selalu membentur tembok, tidak menemu jawab? Dalam sejarah perkembangan matematika, memang ada satu masa di mana kegunaan praktis matematika tidak begitu diperhatikan atau terabaikan. Dikisahkan seorang murid Euclides, sesudah menyimak penjelasannya, bertanya apa yang akan dia peroleh dari belajar geometri. Euclides ( 300 SM) malah menjawabnya dengan sinis, “Berikan anak muda itu uang tiga picis, sebab ia ingin mendapat untung dari apa yang dipelajari”.
Pada jaman Yunani, tak seorangpun yang beranggapan bahwa bentuk kerucut memiliki manfaat; hingga pada akhirnya, pada abad ke-17, Galileo menemukan bahwa peluru bergerak dalam bentuk parabola, dan Kepler menemukan bahwa planet-planet bergerak dalam bentuk elips. Tiba-tiba saja karya yang diciptakan bangsa Yunani, yang sepenuhnya didorong oleh rasa cinta terhadap teori, menjadi kunci utama dalam peperangan dan astronomi. (Russel, hal. 288). Dari kisah ini, seringkali manfaat praktis matematika, memang belum tampak secara nyata, dan baru menemukan bentuk kegunaannya berpuluh, bahkan beratus tahun kemudian. Matematika yang tinggi dan abstrak sekalipun suatu saat pasti berguna untuk memajukan kehidupan manusia atau ada hubungannya dengan keadaan alam semesta. (Moeharti, 2000).
Sinisme siswa terhadap pelajaran matematika di sekolah seringkali terjadi karena kesulitan mengaitkan apa yang dipelajari dalam matematika dengan realitas keseharian, kegunaan praktis sehari-hari. Hal ini kiranya juga tidak lepas dari kecenderungan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada aspek produk, daripada aspek proses dan aspek sikap. Prinsip, hukum dan teori lebih ditekankan dan mendapatkan porsi yang lebih besar dan dominan dalam pembelajaran matematika di sekolah, sehingga aspek proses (metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan) dan aspek sikap (sikap keilmuan yang merupakan berbagai keyakinan, opini dan nilai-nilai yang harus dipertahankan oleh orang yang mempelajarinya) kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Akibatnya pembelajaran matematika menjadi “kering”, abstrak, teoretis, membingungkan dan membosankan. Pelajaran matematika pun seolah terpisah dan terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari.
Persoalan Guru dan Sumber Belajar
Di sebuah milis, Wahyu, seorang guru matematika SMA mengungkapkan betapa sulitnya mengajarkan konsep dan prinsip-prinsip dasar matematika kepada siswa/inya. Meskipun dia sudah berupaya untuk mengangkat contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari yang berkait dengan materi pelajaran, ataupun mengunakan metoda eksperimen sederhana dalam proses pembelajaran, namun nampaknya masih kurang menarik minat para siswa/inya. Ia juga kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan kesulitan mendapatkan alat-alat peraga matematika yang menunjang proses pembelajaran matematika. Wahyu pun mengakui bahwa keterampilan guru sendiri juga memang masih kurang memadai.
Dari ungkapan Pak Guru Wahyu di atas, tampak bahwa permasalahan dalam pendidikan matematika tidak saja menghinggapi siswa, guru pun menghadapi persoalannya sendiri. Sungguh, tidak mudah menumbuhkan minat, motivasi, dan sikap positif siswa terhadap matematika. Beberapa upaya sudah dicoba ditempuh oleh guru, misalnya dengan mengkaitkan materi pelajaran dengan realitas sehari-hari. Meskipun untuk menemukan kegunaan secara nyata dari materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, juga bukan hal yang gampang. Karena memang ada beberapa materi pelajaran matematika yang cukup sulit ditemukan hubungan dan kegunaan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ternyata upaya-upaya tersebut juga belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan untuk mendongkrak minat, motivasi dan sikap positip siswa terhadap matematika. Kondisi demikian, seringkali membuat guru frustasi, dan akhirnya guru kembali mengajar dengan pola dan cara lama. Kreativitas dan inovasi yang sudah dicoba mulai dibangun pun runtuh di tengah jalan. Dan ujung-ujungnya guru kembali menyerah pada model pembelajaran konvensional yang monoton, tidak menarik, dan semakin menjauhkan minat siswa untuk belajar matematika.
Terbatasnya sumber belajar, baik literatur maupun alat peraga untuk pembelajaran matematika di sekolah juga merupakan kendala tersendiri bagi sebagian besar guru. Banyak guru merasa kesulitan mencari buku literatur matematika yang ‘baik’ untuk sumber pembelajaran. Hal demikian juga tidak terlepas dari kurangnya kemampuan guru untuk membaca buku-buku dalam bahasa Inggris. Sementara masih sedikit buku-buku terjemahan tentang pendidikan matematika dari luar negeri yang bisa digunakan guru sebagai referensi, sehingga banyak isu-isu yang berkembang dengan pesat dalam pendidikan matematika, tidak diketahui oleh guru. Kalau toh buku itu ada satu-dua, guru tak mampu membelinya, karena harganya yang cukup mahal bagi ukuran kantong guru. Kebanyakan buku yang tersedia adalah buku paket, itupun sebagian besar disusun secara serampangan dan seringkali juga salah konsep.
Beberapa kasus di atas mencerminkan bagaimana sesunguhnya wajah pendidikan matematika di sekolah, menunjukkan kompleksitas permasalahan pendidikan matematika. Persoalan pendidikan matematika di sekolahpun akhirnya tidak hanya menyangkut masalah pedagogis, metodologis, tapi juga masalah psikologis.
Menumbuhkan Minat Siswa Terhadap Matematika
Mengingat pentingnya arti matematika bagi kehidupan manusia, dan juga mengingat berbagai permasalahan yang muncul dalam pendidikan matematika di sekolah, muncul pertanyaan bagaimanakah seharusnya pendidikan matematika di sekolah diselenggarakan, agar matematika dapat dikuasai siswa dengan baik? Bagaimanakah caranya agar anak-anak kita dapat mempelajari matematika dengan baik, jauh dari perasaan cemas dan ketakutan ketika berhadapan dengan matematika? Mungkinkah menghadirkan pendidikan matematika yang lebih manusiawi, sehingga matematika tidak lagi dipandang sebagai ‘momok’ yang menakutkan?
Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan pendidikan matematika di sekolah, seperti saat sekarang ini, pertama-tama yang mesti dilakukan adalah bagaimana menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika, sebab tanpa adanya minat, kiranya siswa akan sulit untuk belajar, dan kemudian menguasai matematika dengan baik. Dan menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika, akan sangat berkait dengan berbagai aspek yang melingkupi proses pembelajaran matematika di sekolah, baik menyangkut pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika, metodologi pengajaran, hingga aspek-aspek lain yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan proses pembelajaran matematika, seperti misalnya sikap orangtua siswa terhadap matematika.
Untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika di sekolah dalam penyajiannya harus diupayakan dengan cara yang lebih menarik bagi siswa. Matematika sebenarnya memiliki banyak sisi menarik. Namun seringkali hal tersebut tidak dihadirkan dalam proses pembelajaran matematika. Akibatnya siswa mengenal matematika tidak secara utuh. Matematika hanya dikenal oleh siswa sebagai kumpulan rumus-rumus dan simbol-simbol belaka.
Matematika sebagai bagian integral dari kebudayaan manusia, mengandung dimensi kemanusiaan dan memiliki keindahannya tersendiri. (Susilo, 1998). Pembelajaran matematika yang mengabaikan sisi kemanusiaan dan keindahan matematika, menjadikan matematika dipandang sebagai ilmu yang kering dan membosankan. Oleh karenanya, guru dituntut untuk menghadirkan sisi kemanusiaan dan keindahan matematika dalam proses pembelajaran matematika. Tanpa itu, guru hanya akan mengajarkan kepada siswa untuk menghitung dan menyelesaikan soal-soal. Guru hanya seperti mengajarkan siswa untuk membaca dan menulis. Tanpa menghadirkan sisi kemanusian dan keindahan matematika dalam pembelajaran, guru tidak mungkin dapat mengajar siswa untuk mengapresiasi, menyukai dan mencintai, atau bahkan untuk sekedar memahami matematika. (Tymoczko, 1993).
Pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa dilepaskan dari pendekatan yang digunakan oleh guru. Dan pendekatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh pemahaman guru tentang sifat matematika, bukan oleh apa yang diyakini paling baik untuk proses pembelajaran matematika di kelas. Guru yang memandang matematika sebagai produk yang sudah jadi dan ada di luar sana dan perlu ditemukan pikiran manusia, akan mengarahkan proses pembelajaran siswa untuk menerima pengetahuan yang sudah jadi. Guru akan cenderung menggunakan transmisi untuk mengajarkan matematika, yaitu mengisi pikiran siswa dengan sesuatu yang sudah jadi. Bagi guru yang memandang matematika sebagai kreasi mental manusia, akan lebih menekankan konstruktivisme sebagai landasan belajar matematika. Dalam pembelajaran, setiap individu mengkonstruksi sendiri pengetahuan di dalam pikiran mereka. Sementara, guru yang memandang bahwa matematika itu suatu proses, akan lebih menekankan aspek proses daripada aspek produk dalam pembelajaran matematika. (Marpaung, 1998).
Dalam praksis pendidikan matematika di Indonesia, seringkali guru lebih mengarahkan siswa untuk menerima matematika sebagai pengetahuan yang sudah jadi. Proses pembelajaran lebih banyak didominasi oleh ceramah guru, sehingga seringkali siswa sebenarnya tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran. Pendekatan demikian akan semakin mengentalkan dikotomi antara guru dan siswa, di mana guru berperan sebagai subyek dan siswa bertindak sebagai obyek pembelajaran. Ada tembok pembatas yang sangat tegas antara guru dan siswa. Pendekatan ini biasanya memposisikan guru sebagai penguasa yang memiliki hegemoni dan dominasi sepihak dalam menafsirkan materi pembelajaran yang kebenarannya tak terbantahkan oleh siswa yang manapun. Tentu pendekatan demikian kurang bisa membangkitkan minat siswa terhadap matematika, sebaliknya akan semakin menenggelamkan siswa dalam kungkungan kejenuhan dan kebosanan proses pembelajaran matematika.
Pendekatan konstruktivisme bisa menjadi salah satu alternatif untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. Dengan pendekatan ini, siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Setiap siswa didorong untuk berusaha secara aktif menemukan dan membangun pemahamannya sendiri, sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran akan lebih mendalam. Guru lebih merupakan fasilitator dalam pembelajaran. Dengan demikian, proses pembelajaran akan sungguh menjadi milik siswa. Ketika siswa sudah terlibat dan merasa memiliki terhadap proses pembelajaran, sudah tumbuh kesadaran bahwa mereka adalah aktor utama proses pembelajaran, maka kita boleh berharap penguasaan siswa terhadap matematika akan menjadi lebih baik. Dengan begitu sebenarnya pintu untuk memasuki matematika sudah terbuka lebar, tinggal bagaimana kemudian guru mendorong siswa semakin masuk ke dalamnya untuk menemukan sendiri keindahan matematika.
Metode pembelajaran juga memegang peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika. Variasi metode pembelajaran mutlak diperlukan agar proses pembelajaran tidak monoton dan tidak menimbulkan kejenuhan pada siswa. Oleh karena itu, guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mengembangkan metode pembelajaran, sehingga ada banyak variasi metode pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat siswa terhadap matematika adalah metode historis. Dengan metode historis guru dapat menampilkan sisi lain matematika yang selama ini masih kurang dikenal siswa. Pada hal-hal tertentu guru dapat menjelaskan sejarah suatu penemuan atau sejarah dari kehidupan seorang tokoh matematika untuk memberikan gambaran tentang bagaimana perkembangan matematika itu dari jaman ke jaman. Dengan metode historis ini dapat ditunjukkan kepada siswa tentang kemungkinan adanya perubahan-perubahan teori atau konsep-konsep pemikiran manusia dalam matematika. Dengan cara demikian, maka di samping mengenal hukum-hukum, atau generalisasi-generalisasi, siswa juga mengetahui apa itu seseungguhnya matematika. Siswa memperoleh gambaran, bahwa matematika merupakan ilmu yang terus berubah dan berkembang. Sejarah tersebut juga dapat memberikan contoh-contoh tentang adanya manusia-manusia yang bekerja tanpa pamrih dalam usahanya mencari dan menemukan konsep atau teori dalam matematika, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Contoh-contoh tersebut dapat menimbulkan kekaguman pada siswa, memberikan keteladanan dan juga inspirasi bagi para siswa. Dari sini siswa bisa belajar membangun sikap dan minat yang positif terhadap matematika.
Kreativitas dan inovasi guru dalam mengeksplorasi materi pembelajaran, didukung dengan bekal penguasaan metode pembelajaran yang variatif, acapkali dapat ‘menyelamatkan’ proses pembelajaran matematika di kelas. Sebab kadang kala, situasi kelas tidak selalu menguntungkan atau tidak selalu kondusif untuk proses pembelajaran, seperti sebagian siswa kelelahan, siswa merasa jenuh, bosan, dan sebagainya. Maka kemampuan guru membaca situasi semacam itu, juga akan turut menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Beberapa contoh berikut merupakan pengalaman penulis berkait dengan variasi metode pembelajaran dalam situasi kelas yang tidak cukup kondusif untuk proses pembelajaran.
Ketika mengawali materi pelajaran pada jam ke delapan (12.45 Wib), penulis meminta siswa untuk membuat tiga buah kalimat yang terkait dengan materi tersebut. Pada awalnya para siswa hanya terbengong. Untuk beberapa saat mereka seolah tidak percaya dengan apa yang akan dilakukan. Baru setelah penulis meyakinkan lagi, merekapun dengan bersemangat mulai mengerjakannya, sambil masih menyisakan senyum di bibirnya. Mungkin mereka belum cukup yakin.
Membuat kalimat adalah salah satu cara untuk memfasilitasi proses berpikir. Ketika seseorang membuat kalimat dengan menggunakan istilah tertentu, maka di sana ada proses untuk berpikir. Orang akan berpikir terlebih dulu, berusaha memahami arti atau makna istilah tersebut, baru kemudian bisa menyatakannya dalam satu rangkaian kalimat. Dari proses tersebut akan dapat diketahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap istilah itu. Inilah titik awal siswa memahami konsep yang akan dibahas dalam proses pembelajaran selanjutnya.
Setelah semua siswa selesai membuat kalimat, penulis meminta siswa untuk memilih satu kalimat yang dianggap menarik dan membacakannya untuk forum kelas. Seperti sudah penulis duga sebelumnya, ada banyak ragam kalimat menarik. Dan masing-masing siswa berusaha membacakan kalimat yang berbeda dari temannya. Kelaspun menjadi lebih hidup, sengaja penulis membiarkan komentar dari siswa lain ketika satu siswa selesai membacakan kalimatnya. Kesempatan itu sekaligus menjadi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri; ide, gagasan dan kreatifitasnya. Dari kalimat-kalimat itu tampak bagaimana karakter pribadi masing-masing siswa, interestnya dan juga latar belakangnya. Selain itu, tanpa disadari mereka telah mengumpulkan banyak informasi tentang materi yang akan dibahas. Peristiwa itu juga menjadikan materi pelajaran lebih dekat dengan realitas kehidupan mereka sehari-hari, bahwa apa yang dipelajari sebenarnya terkait dengan kehidupan nyata, bahkan mungkin pernah dialaminya sendiri. Dengan siswa melihat keterkaitan matematika yang dipelajarinya dengan realitas kehidupan, maka pembelajaran matematika akan lebih bermakna bagi siswa.
Pengalaman lain, di kelas matematika ternyata kami bisa tertawa bersama, ketika ada siswa yang membacakan “puisi matematika”nya. Puisi matematika? Kelihatannya memang agak ‘ngoyo woro’, tapi mengapa tidak jika hal itu dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan minat siswa terhadap matematika? Dari puisi yang ditulis dengan menggunakan istilah-istilah matematika ini, terlihat sejauh mana siswa menguasai dan memahami konsep matematika dan keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Ketika membuat puisi matematika tersebut sebenarnya siswa merekonstruksi kembali pengetahuan, pemahaman mereka tentang konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari sebelumnya. Dalam puisi tersebut konsep matematika berperan sebagai bahasa ungkap. Tanpa menguasai konsep matematika, siswa akan kesulitan mengungkapkan idenya ke dalam bentuk puisi matematika. Bukankah hal ini sebenarnya cukup efektif untuk mengetahui dan mengevaluasi sejauh mana pengetahuan dan pemahaman siswa? Guru bisa mengajak siswa untuk mengapresiasi puisi tersebut dengan mengkritisinya. Misalnya, apakah ada istilah (representasi dari konsep) yang tidak pas yang digunakan dalam puisi tersebut, apakah istilah-istilah yang digunakan ‘nyambung’ satu sama lain.
Membuat kalimat atau membuat puisi matematika, sebenarnya lebih ditujukan untuk membantu siswa ‘membahasakan’ matematika. Kecenderungannya, seringkali siswa hanya hafal dengan rumus dan simbol-simbol matematika, tapi siswa tidak memamahami arti, tanpa tahu makna di balik rumus ataupun simbol-simbol tersebut. Jika siswa mampu ‘membahasakan’ matematika, maka siswa akan dapat melihat keindahan matematika yang mengagumkan. Bagaimana sesuatu yang dibahasakan dengan begitu panjang, ternyata dapat dinyatakan dengan singkat dalam matematika, dengan mengunakan lambang atau simbol-simbol matematika. Inilah salah satu keindahan matematika yang bisa jadi selama ini tidak pernah ditangkap oleh siswa, sebaliknya, dianggap tidak menarik, lantaran tidak paham makna di baliknya.
Permainan matematika juga dapat menjadi salah satu cara untuk menarik minat siswa dalam proses pembelajaran matematika. Seringkali permainan matematika dapat menjadi sarana untuk menghilangkan kejenuhan siswa. Menebak tanggal lahir, menebak uang saku siswa adalah contoh permainan matematika yang cukup mendapat respon positif dari siswa. Dengan lagak seorang pesulap, guru bisa meminta siswa untuk melakukan operasi matematika, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian atau pembagian dengan menggunakan bilangan tertentu. Setelah semua siswa selesai mengerjakan, guru bisa menanyakan hasil akhir operasi tersebut. Lewat hasil perhitungan tersebut guru menebak tanggal lahir siswa, ataupun uang saku siswa. Siswapun tercengang heran, ingin tahu. Dari keingintahuan itu, siswa bisa diajak mencari dan menemukan model matematikanya. Tanpa disadari, lewat permainan ini siswa sudah belajar operasi aljabar dan membuat model matematika secara sederhana. Ada banyak ragam permainan matematika. Guru bisa mencari permainan-permainan yang sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dibahas. Tentu, belajar matematika sambil bermain akan lebih menarik bagi siswa. Lewat permainan tersebut sebenarnya siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya tentang konsep matematika.
Tentu saja, beberapa metode atau cara pembelajaran di atas tidak dapat dijadikan metode utama, lebih sebagai variasi metode pembelajaran agar dapat menarik minat siswa dalam pembelajaran matematika. Kiranya berbagai model atau cara pembelajaran di atas akan dapat mengenalkan banyak sisi lain dari matematika kepada para siswa, sehingga matematika akan dipahami oleh siswa secara utuh. Lebih jauh, diharapkan juga akan membantu menumbuhkan minat siswa terhadap matematika.
Namun seringkali tuntutan dan beban kurikulum, tidak memungkinkan guru untuk bereksplorasi dengan berbagai metode pembelajaran. Oleh karena itu, gurupun dituntut untuk mampu menyiasati kurikulum. Para guru bidang studi matematika dalam satu sekolah dapat bekerjasama untuk memilih dan memilah materi pelajaran yang dipandang penting bagi siswa. Bahkan kalau perlu menambahkan materi yang dianggap penting maupun membuang materi yang tidak penting. Kemudian materi-materi tersebut dirumuskan kembali dengan sistematika tertentu dan menjadi kurikulum otonom sekolah. Tentu saja juga mempertimbangkan keterkaitan materi-materi tersebut dengan materi mata pelajaran lain. Dengan demikian, kerancuan, ketumpangtindihan materi dapat dihindari seminimal mungkin. Hanya saja langkah demikian tetap saja menyisakan kekhawatiran, terutama kaitannya dengan ujian akhir nasional (UAN). Selama UAN tetap diselenggarakan, maka sekolah tidak dapat benar-benar menyusun kurikulumnya sendiri secara otonom, akan selalu mengiblat pada kurikulum nasional. Inilah kesulitannya jika dominasi negara terhadap pendidikan begitu besar.
Akhirnya yang cukup sulit adalah bahwa permasalahan pendidikan matematika di negeri ini sudah terlanjur menjadi problem psikologis. Matematika sudah terlanjur dianggap sebagai ‘momok’ yang menakutkan bagi sebagian besar siswa. Ada banyak ‘luka psikologis’ yang diderita siswa berkait dengan pendidikan matematika. Kiranya untuk dapat menumbuhkan kembali minat siswa terhadap matematika, ‘luka-luka psikologis’ tersebut harus disembuhkan terlebih dahulu. Dan guru memiliki peran sangat besar dalam hal ini.
Menurut Sastrapratedja (2001), proses belajar mengajar merupakan transaksi manusiawi yang sangat halus yang menuntut kepekaan dan ketrampilan dalam hal hubungan antar manusia. Hubungan ini merupakan hubungan yang rapuh, karena kecemasan yang ada pada peserta didik atau ancaman yang datang dari pengajar atau perasaan ketergantungan pada pengajar dari pihak pelajar. Suatu sikap yang diperlukan ialah bahwa pengajar mampu menerima peserta didik sebagai pribadi, apakah ia memiliki kekurangan atau kelebihan, menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Seringkali keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh pola relasi dan interaksi yang terjalin antara guru dan siswa dalam kelas. Macam apa pola interaksi dan relasi tersebut biasanya sangat bergantung pada guru. Pola relasi dan interaksi yang positif dapat tercipta jika guru dan siswa bisa saling menerima keberadaan satu sama lain. Guru yang mampu menghadirkan diri sebagai sosok teman yang akrab, familiar, mau terbuka untuk mendengarkan, dan membantu setiap kesulitan yang dihadapi siswa kiranya akan mudah diterima oleh siswa daripada guru yang menampilkan diri sebagai sosok yang galak, seram, menakutkan, dan sering menghukum siswa. Kedekatan secara personal antara guru dan siswa akan membuat siswa lebih bisa terbuka mengungkapkan kesulitan dan persoalan yang dihadapinya dalam pembelajaran matematika, sehingga gurupun juga akan lebih mudah untuk membantu mencari solusi yang tepat.
Memberikan reward, penghargaan kepada siswa seringkali juga cukup efektif untuk memotivasi dan mendorong keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Bukan saja untuk siswa yang diberi reward, tapi juga untuk keseluruhan siswa dalam satu kelas. Apresiasi positip guru terhadap seorang siswa, biasanya juga akan menular kepada siswa lain. Selain itu, penghargaan yang diberikan oleh guru dapat memupuk rasa percaya diri siswa, mengurangi rasa minder siswa dalam proses pembelajaran matematika.
Dalam beberapa kasus, kerjasama antara guru matematika dengan guru BP sebagai konselor sekolah ternyata juga cukup efektif untuk menangani siswa yang memiliki permasalahan psikologis dalam pembelajaran matematika. Dengan bantuan konselor sekolah, guru bisa mencari pendekatan yang lebih tepat untuk permasalahan psikologis siswa tersebut. Tentu hal ini hanya bisa dilakukan jika guru sendiri juga memiliki sikap yang terbuka terhadap kritik, dan kemauan untuk selalu berubah menjadi lebih baik. Konselor sekolah bisa menjadi jembatan untuk mencari solusi permasalahan psikologis antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika.
Hal lain yang tak kalah penting tapi seringkali dilupakan, adalah peran orang tua. Seringkali tanpa disadari tuntutan orang tua agar anak mendapatkan nilai yang baik dalam pelajaran matematika membuat anak merasa tertekan dan terbebani. Kadang orangtua tidak memahami kesulitan yang dihadapi anak, sebaliknya orangtua malah memperparahnya dengan memarahi dan menyalahkan anak jika nilai matematikanya jelek. Akibatnya anak semakin frustasi dan semakin membenci matematika. Sebenarnya yang dibutuhkan anak dari orangtua adalah pengertian, dukungan, dan pendampingan. Orangtua dapat bekerjasama dengan guru di sekolah untuk mengetahui sejauh mana perkembangan anak, mendiskusikan kesulitan anak dalam pembelajaran matematika. Hal ini penting agar ada sinergi antara guru dan orangtua dalam pendampingan anak, khususnya dalam pembelajaran matematika.
Akhirnya, pendidikan matematika di sekolah hanya akan berlangsung dengan baik dan menemu tujuannya, jika ada sinergi dari banyak pihak, seperti siswa, guru, orang tua, dan beberapa pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Antara satu komponen dengan komponen lain yang terlibat dalam pendidikan matematika diharapkan dapat saling menginspirasi, agar pembelajaran matematika di sekolah menjadi lebih menyenangkan, lebih dinamis, lebih manusiawi dan tentu saja bermakna. Sehingga matematika tidak lagi dianggap sebagai ‘momok’ yang menakutkan.@
HJ. Sriyanto
Guru Matematika di SMA Kolese De Britto
Jl. Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta 55281 HP. 08122789106
Kepustakaan:
Depdikbud. 1995. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Matematika SMU. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Drost, J. 2000. Reformasi Pengajaran : Salah Asuhan Orangtua? Jakarta : Grasindo.
Hadiwidjojo, Moeharti. 2000. “Matematika Berkembang dari dan untuk Alam Kehidupan Manusia”. Dalam J. Eka Priyatma, dkk. (ed). Sains: Dari Manusia untuk Manusia. Yogyakarta : Penerbitan Univesitas Sanata Dharma.
Marpaung, Y. 1998. “Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains”. Dalam P.J. Suwarno, dkk. (ed). Pendidikan Sains Yang Humanistis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nasoetion, Andi H. Dua Jenis Ilmu Dasar. Dalam Kompas, 28 September 2001.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. (terj.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sastrapratedja, M. 2001. Pendidikan Sebagai Humanisasi. Yogyakarta : Penerbitan Univesitas Sanata Dharma.
Sukarno, dkk. 1973. Dasar-Dasar Pendidikan Science. Jakarta: Bhratara.
Susilo, F. 1998. “Matematika Yang Manusiawi”. Dalam P.J. Suwarno, dkk. (ed). Pendidkan Sains Yang Humanistis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Susilo, F. dkk. (ed). 1998. Pendidikan Matematika dan Sains : Tantangan dan Harapan. Yogyakarta : Penerbitan Univesitas Sanata Dharma.
Tymoczko, Thomas. 1993. “Humanistic and Utilitarian Aspect of mathematics”. Dalam Alvin M. White. (ed). Essays in Humanistic Mathematics. Washington DC : The Mathematical Association of America.
White, Alvin M. (ed). 1993. Essays in Humanistic Mathematics. Washington DC : The Mathematical Association of America.
Wirasto, R.M. 1987. “ Beberapa Faktor Penyebab Kemerosotan Pendidikan Matematika Di Negara Kita”. Dalam Y. Marpaung, dan Paul Suparno. (ed). Sumbangan Pikiran Terhadap Pendidikan Matematika dan Fisika. Yogyakarta : Pusat Penelitian Pendidikan Matematika/Informatika FMIPA, IKIP Sanata Dharma.
0 comments:
Post a Comment