2. LATAR BELAKANG
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sampai batas tertentu matematika hendaknya dapat dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia. Lebih lanjut matematika dapat memberi bekal kepada siswa untuk menerapkan matematika dalam berbagai keperluan. Akan tetapi persepsi negatif siswa terhadap matematika tidak dapat diacuhkan begitu saja. Umumnya pelajaran matematika di sekolah menjadi momok bagi siswa. Sifat abstrak dari objek matematika menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika. Akibatnya prestasi matematika siswa secara umum belum menggembirakan.
Hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat (TIMSS-R) tahun 1999 memperlihatkan bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas II Indonesia berada pada urutan ke-34 untuk Matematika (Rosyada, 2004:3), sementara itu perolehan nilai matematika pada ujian negara pada semua jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang rendah pula (Yaniawati, 2006:1). Rendahnya prestasi matematika siswa dapat disebabkan oleh masalah komprehensif siswa ataupun secara parsial dalam matematika. Selain itu, belajar matematika bagi siswa belum bermakna, sehingga pemahaman siswa tentang konsep matematika sangat lemah (Suharta, 2005:1).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa umumnya siswa mengerti dengan penjelasan serta contoh soal yang diberikan guru, namun ketika kembali ke rumah dan ingin menyelesaikan soal-soal yang sedikit berbeda dengan contoh sebelumnya, siswa kembali bingung bahkan lupa dengan penjelasan gurunya. Apa yang dialami siswa ini menunjukkan bahwa siswa belum mempunyai pengetahuan konseptual. Selain itu pendekatan pembelajaran matematika yang digunakan oleh guru tidak variatif. Guru masih mengandalkan pendekatan pembelajaran konvensional dengan metode ceramah sebagai metode utama. Begitu pun halnya di SMP Negeri 10 Kendari. Menurut wawancara dengan salah satu guru matematika di sekolah ini pada tanggal 12 November 2007, rata-rata prestasi matematika siswa kelas VII pada semester I tahun 2006 adalah 5,8 yang belum mencapai standar minimal 6,0. Sementara itu pendekatan pembelajaran yang digunakan guru bersangkutan masih berupa pendekatan tradisional (konvensional) dengan metode ceramah. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan diterapkan suatu pembelajaran matematika yang tidak hanya mentransfer pengetahuan guru kepada siswa. Pembelajaran ini hendaknya juga mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan materi dan konsep matematika. Pendekatan pembelajaran yang kiranya tepat adalah pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dimana pendekatan pembelajaran matematika ini berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu materi matematika yang diajarkan di SMP Kelas VII adalah Himpunan. Konsep himpunan secara formal belum pernah diperoleh siswa sehingga dapat kita katakan konsep ini merupakan konsep yang sama sekali baru bagi siswa walaupun erat kaitannya dengan bilangan dan operasinya. Materi ini pula sering muncul dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dalam pembelajaran matematika pada konsep himpunan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi tersebut. Oleh karena itu penulis ingin melakukan suatu penelitian eksperimen dengan judul Efektivitas Penerapan Realistic Mathematic Education (RME) pada Pokok Bahasan Himpunan di SMP Negeri 10 Kendari.
3. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dari latar belakang maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 10 Kendari yang diajar dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan?
2. Bagaimana hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 10 Kendari yang diajar tanpa menggunakan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan?
3. Apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran matematika tanpa pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan ?
4. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan di atas. Secara rinci tujuan tersebut adalah untuk mengetahui :
1. Hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 10 Kendari yang diajar dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan.
2. Hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 10 Kendari yang diajar dengan tanpa menggunakan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan.
3. Efektivitas pembelajaran matematika dengan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dibandingkan dengan pembelajaran tanpa menggunakan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada pokok bahasan Himpunan.
5. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini dilaksanakan adalah :
1. Dapat membantu siswa dalam memahami dan menguasai konsep-konsep dasar matematika khususnya himpunan.
2. Sebagai masukan positif bagi guru-guru SMP khususnya guru SMP Negeri 10 Kendari dalam menentukan alternatif pendekatan pembelajaran yang cocok dengan pokok bahasan Himpunan.
3. Memberikan sumbangsih yang berguna dalam rangka perbaikan pembelajaran matematika dan peningkatan prestasi belajar matematika peserta didik.
6. KAJIAN TEORI
1. Realistic Mathematic Education (RME)
1. Pengertian Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
Realistic Mathematic Education (RME) merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika. Menurut Hadi (2003:1) Realistic Mathematic Education (RME) yang dalam makna Indonesia berarti Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal (Suharta, 2005:2). Teori ini telah diadaptasi dan digunakan di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, Amerika Serikat, Jepang dan Malaysia (De Lange dalam Sriyanto, 2006:2).
Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Suharta, 2005:2).
2. Karakteristik Realistic Mathematic Education (RME)
Menurut Treffers dan Van den Heuvel-Panhuizen dalam Suharta (2005:2), karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) dan dijelaskan sebagai berikut :
• Menggunakan konteks “dunia nyata”
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
• Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
• Menggunakan produksi dan konstruksi
Dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
• Menggunakan interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
• Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
3. Langkah-langkah Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)
Adapun langkah-langkah pembelajaran pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) (Suharta, 2005:5) adalah sebagai berikut :
Untuk Lebih Jelasnya Silahkan
download
0 comments:
Post a Comment