Diam seribu bahasa. Itulah yang kerapkali terjadi di ruang-ruang kelas di sebagian besar sekolah di negeri ini, setiapkali guru mengajukan pertanyaan ataupun memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Semua mulut malah seolah terkunci rapat, dengan tatapan mata melompong kosong. Sebaliknya, kelas menjadi ramai-riuh, bisik sana-sini ketika guru menjelaskan, dan semakin ramai-riuh ketika tidak ada guru di kelas. Realitas demikian memang sungguh terjadi dibalik tembok-tembok kelas.
Mengapa budaya bertanya, apalagi mempertanyakan belum tumbuh dalam dinamika pendidikan kita? Padahal lewat pertanyaanlah cakrawala pikiran dapat terbuka dan kesadaranpun akan tetap terjaga. Banyak penemuan baru yang gemilang, bermula dari sebuah pertanyaan. Dengan pertanyaan manusia bisa membuka rahasia dunia. Seorang Albert Einstein yang begitu genial, bahkan sampai matinya toh masih bertanya dan bertanya. Dan masih ada banyak pertanyaan yang belum sanggup dijawabnya, pun hingga saat sekarang oleh para ahli di seluruh dunia. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah, sebab manusia yang mampu menanyakan pertanyaan yang sudah benar, itulah orang yang sudah memiliki kunci penjawabannya.(Impian dari Yogyakarta hal. 71).
Masih asingnya kebiasaan bertanya dalam dinamika pendidikan, tidak lepas dari budaya yang hidup dalam masyarakat kita. Dalam masyarakat kita, sebuah pertanyaan seringkali menjadi tabu untuk dilontarkan. Lebih baik diam, daripada muncul pertentangan-konflik sebab adanya suatu pertanyaan. Meskipun sebenarnya berbagai pertanyaan bertalu-talu, menggedor-gedor kepala ingin minta keluar. Sikap yang cenderung diam menerima, di satu sisi telah membungkam sikap kritis masyarakat kita. Pun dikotomi tua-muda dalam masyarakat kita, dimana yang muda harus memiliki sikap hormat terhadap yang tua (sementara yang tua boleh sesukanya?), telah menempatkan yang tua dan yang muda dalam level yang berbeda, dalam derajat yang berbeda untuk banyak hal. Jelas kondisi demikian menutup ruang diskusi, karena diskusi tercipta hanya mengandaikan jika semua yang terlibat dalam diskusi berada dalam kedudukan sama-setara, yang satu tidak merasa lebih tinggi, lebih pandai, lebih tahu dari yang lain. Ketika ada yang muda bertanya, mendebat atau mempertanyakan pada yang tua, hal itu acapkali dianggap sebagai ‘kekurangajaran’, ketidaksopanan, tidak menghormati atau tidak menghargai.
Dan karena anak-anak murid tumbuh dalam budaya masyarakat demikian, maka wajar jika mereka tidak terbiasa untuk bertanya, malu dan takut untuk bertanya. Munculnya perasaan malu dan takut untuk bertanya tersebut juga dipicu oleh budaya pendidikan kita yang belum mampu mendorong siswa untuk bertanya dan mempertanyakan. Sejak TK hingga sekolah menengah, mereka terbiasa duduk bersedeku-mendengarkan guru berceramah. Kalau bertanya akan dianggap bodoh, dan ditertawakan oleh seluruh kelas. Sikap kritis mereka telah ditumpulkan oleh sistem persekolahan yang kaku dan tidak inspiratif, sebuah sistem yang tidak merangsang daya pikir dan imajinasi peserta didik. Tapi sebaliknya, sistem itu malah menggerogoti rasa kepercayaan diri, sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang minder, dan tidak memiliki kemandirian berpikir.
Lebih parah lagi, seringkali murid tidak mau bertanya karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, murid tidak tahu apa yang dia tidak tahu. Karena tidak adanya kebiasaan bertanya sampai-sampai murid tidak bisa merumuskan pertanyaan, bahkan pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Selain itu, seringkali pula sebenarnya guru sendiri juga tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada murid untuk bertanya. Hal itu dapat dilihat dari sedikitnya waktu yang digunakan untuk tanya jawab dibanding untuk menerangkan dalam proses pembelajaran. Memberikan kesempatan bertanya acapkali hanya dilakukan sekedar sebagai formalitas belaka. Biar model pembelajarannya tidak dianggap terlalu konservatif atau konvensional. Kesadaran guru untuk menjadikan proses pembelajaran sebagai ruang eksplorasi bersama, dengan memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk bertanya dan mempertanyakan juga masih rendah.
Upaya terus-menerus untuk menumbuhkan budaya bertanya dan mempertanyakan dalam dinamika pendidikan kita menjadi penting. Para guru harus mulai mendorong murid untuk bertanya dan mempertanyakan, tidak soal apakah nanti guru bisa menjawab atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana murid memiliki keberanian untuk bertanya dan bisa merumuskan pertanyaannya dengan benar. Sebab inilah pintu pertama yang harus dibuka, untuk menumbuhkan sikap kritis pada siswa.
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan budaya bertanya adalah dengan mengubah model pembelajaran di kelas. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru, yang ditandai dengan dominasi guru dalam proses pembelajaran, dimana guru lebih banyak menerangkan, harus diubah ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Proses pembelajaran yang memberi kesempatan dan ruang yang lebih besar bagi siswa untuk bereksplorasi. Dengan eksplorasi siswa akan lebih banyak menemukan, dan juga menguji pemahamannya sendiri dengan terus-menerus mempertanyakan konsep yang dipelajarinya. Pancingan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai realitas keseharian yang berkait dengan materi ajar, akan merangsang siswa untuk menemukan jawaban sebagai pemecahan masalah atas realitas tersebut. Dalam proses menemukan penyelesaian masalah itulah, akan muncul banyak pertanyaan berkait dengan konsep yang dipelajari siswa.
Hal tersebut juga akan mendorong siswa untuk berdiskusi dengan siswa lain. Ada keyakinan jika di kelas sudah tercipta iklim diskusi diantara para siswa, maka akan muncul banyak pertanyaan yang menggugah mereka untuk bergelut lebih mendalam dengan materi pelajaran. Sehingga mereka pun akan dapat lebih banyak menguasai konsep, dibanding jika sekedar diterangkan guru. Pemahaman tentang konsep itupun juga akan bertahan relatif lebih lama.
Model pembelajaran tutorial sebaya, kiranya juga bisa menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk merangsang para siswa bertanya dan mempertanyakan. Asumsi dari model pembelajaran ini adalah bahwa siswa lebih terbuka dan lebih bisa mengungkapkan dirinya, baik kegembiraan, kegelisahan maupun kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya kepada teman-teman yang sebaya daripada kepada orang yang lebih dewasa (orangtua atau guru). Demikian juga dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih bisa mengungkapkan kesulitan dan permasalahan yang dialami kepada temannya daripada kepada gurunya. Siswa akan lebih terbuka, tidak canggung dan tidak takut untuk bertanya kepada temannya maupun mempertanyakan pendapat temannya. Siswa juga lebih merasa dipahami dan dimengerti oleh temannya dibandingkan oleh gurunya. Dengan model pembelajaran demikian, siswa yang telah menguasai konsep bisa menjadi tutor bagi siswa-siswa lain yang belum menguasainya. Sementara peran guru lebih pada memfasilitasi proses pembelajaran, sebagai pengamat proses, sekaligus tempat rujukan bagi siswa. Guru hadir setiap kali kelompok membutuhkannya sebagai teman berdiskusi, tempat rujukan atau untuk memberikan peneguhan dan penegasan atas pemahaman siswa.
Pendidikan serba bertanya menjadi kontekstual untuk kondisi pendidikan kita saat sekarang. Pendidikan yang mendorong siswa untuk selalu bertanya dan mempertanyakan akan membantu siswa untuk mengembangkan sikap kritis, membangun kepercayaan diri pada para siswa, menumbuhkan sikap menghargai orang lain dan diharapkan nantinya juga akan dapat membantu siswa untuk memiliki sikap kemandirian berpikir. Apabila kita bisa menghadirkan pendidikan serba bertanya ini dalam dinamika proses pendidikan, maka kita boleh berharap di masa mendatang kualitas pendidikan di negeri ini akan menjadi lebih baik. Semoga@
0 comments:
Post a Comment